Jumat, 11 Oktober 2013

Hukum Kurban itu Sunnah

Bagaimanakah hukum kurban? Apakah wajib ataukah sunnah? Jumhur atau mayoritas ulama menganggap kurban itu sunnah muakkad. Namun jangan sampai yang mampu atau punya kelapangan rezeki meninggalkannya.
 


Ibnu Hajar kembali menyebutkan tentang masalah hukum kurban pada hadits no. 1357 dari kitab beliau Bulughul Marom. Beliau membawakan hadits berikut ini,

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - "مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا" - رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَه, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه ُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

"Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah. Al Hakim menshahihkannya. Akan tetapi ulama lainnya mengatakan bahwa hadits ini mauquf, yaitu hanyalah perkataan sahabat. (HR. Ahmad 14: 24 dan Ibnu Majah no. 3123. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Para ulama berdalil dengan hadits ini akan wajibnya kurban. Alasannya, jika tidak boleh mendekati tempat shalat, maka itu menunjukkan ada perkara wajib yang ditinggalkan. Yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah, salah satu pendapat dalam madzhab Imam Malik, pendapat Al Laitsi, Al Auza'i, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Namun jumhur atau mayoritas ulama yaitu ulama Syafi'iyah, Hambali, dan Malikiyah berpendapat bahwa hukum kurban itu sunnah muakkad. Namun bagi yang mampu dilarang meninggalkannya.
Di antara dalil lain dari mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ


"Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.” (HR. Muslim no. 1977, dari Ummu Salamah). 


Yang dimaksud di sini adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul qurban itu sendiri. Sebagaimana dinukil dari Imam Nawawi, Imam Syafi'i berkata, "Dalil di atas menunjukkan bahwa hukum kurban itu tidak wajib. Karena dalam hadits digunakan kata "aroda" (siapa yang mau). Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukuplah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya hingga berkurban.” (Al Majmu', 8: 217).
 
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukil perkataan Ibnu Hazm bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang menyatakan bahwa kurban itu wajib. Yang ada, mayoritas ulama menganggap bahwa hukum kurban itu sunnah. Namun kurban tetaplah disyari'atkan. Dinukil dari Adhwaul Bayan, 5: 617.

Dalam Al Majmu' (8: 216), Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Menurut madzhab Syafi'i dan madzhab mayoritas ulama, hukum kurban adalah sunnah muakkad bagi yang mudah (punya kelapangan rezeki) untuk melakukannya dan itu tidak wajib. Demikianlah pendapat kebanyakan ulama. Yang berpendapat demikian adalah Abu Bakr Ash Shiddiq, 'Umar bin Al Khottob, Bilal, Abu Mas'ud Al Badri, Sa'id bin Al Musayyin, 'Atho', 'Alqomah, Al Aswad, Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, Al Muzani, Daud dan Ibnul Mundzir."

Di akhir bahasan tentang hukum kurban, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, "Seandainya hukum kurban itu wajib, tentu tidaklah gugur karena luput, artinya mesti diganti sebagaimana keadaannya untuk shalat jum'at dan kewajiban lainnya. Namun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika kurban itu luput, maka tidak wajib qodho'. Adapun jawaban untuk dalil-dalil yang mengatakan wajib, maka bisa jadi dalil tersebut dho'if sehingga tidak bisa dijadikkan argumen (pendukung). Seandainya shahih, maka hadits tersebut dibawa ke hukum sunnah karena kompromi berbagai dalil. Wallahu a'lam." (Al Majmu', 8: 217).


Meski Demikian, Tetaplah Berkurban Saat Mampu

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah setelah memaparkan perselisihan ulama mengenai hukum kurban, beliau berkata, “Janganlah meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk menunaikannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan,  

Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu dan ambil perkara yang tidak meragukanmu.” 

Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan. Wallahu a'lam.” (Adhwa'ul Bayan, 5: 618)



Hanya Allah yang memberi taufik.


Referensi:

Minhatul 'Allam fii Syarhi Bulughil Marom, Syaikh 'Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H, 9: 277-280.
Adhwaul Bayan fii Idhohil Qur'an bil Qur'an, Syaikh Muhammad Al Amin bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi, terbitan Dar 'Alamil Fawaid, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar 'Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.
Selesai disusun di pagi hari penuh berkah, 7 Dzulqo'dah 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul

sumber 



Pengertian sunah atau definisi sunnah adalah perkara yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Adapun macam sunnah antara lain :

  1. Sunnah Muakkad adalah sunnah yang sangat dianjurkan misalnya shalat tarawih dan shalat idul fitri
  2. Sunnah Ghairu Muakkad adalah sunnah biasa. Misalnya memberi salam kepada orang lain dan puasa pada hari Senin dan Kamis
  3. Sunnah Haiat adalah perkara-perkara dalam shalat yang sebaiknya dikerjakan seperti mengangkat kedua tangan ketika takbir, mengucapkan Allahu Akbar ketika akan ruku dan sujud, dan sebagainya.
  4. Sunnah Ab’adh adalah perkara-perkara dalam shalat yang harus dikerjakan, dan kalau terlupakan maka harus melakukan sujud sahwi seperti membaca tasyahud awal dan  apabila tidak sujud syahwi maka sholat nya batal. seperti, doa Qunut,

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar